Apa Arti Kebijakan Penurunan Suku Bunga di Amerika Serikat?
Halo semuanya, saya senang bisa sharing sedikit pengetahuan tentang keuangan dengan teman-teman disini. Kita akan menelusuri kembali sejarah siklus penurunan suku bunga The Fed dan mengungkap kode-kode tersembunyi di balik latar belakang ekonomi global. Kita akan menyelami bersama-sama dampak mendalam yang ditimbulkan oleh kebijakan penurunan suku bunga terhadap perekonomian, serta gimana berbagai aset global bisa menari di tengah badai ketidakpastian tersebut.
Saya yakin, analisis mendalam mengenai siklus penurunan suku
bunga akan membuka wawasan investasi dan membantu kita semua meraih hasil
investasi yang paling gemilang di masa mendatang. Tentu saja, mengingat pembahasan
yang terkait dengan dampak dan peluang dari penurunan suku bunga The Fed, maka
saat ini saya akan menyampaikan beberapa
hal penting terkait dengan penurunan suku bunga.
Sekarang, mari kita lihat perjalanan arus panjang sejarah
keuangan dunia. Dengan mengacu pada grafik dan data statistik, kita akan meninjau
kembali latar belakang dari beberapa krisis keuangan global yang pernah
terjadi.
Pertama, kita akan menuju periode 1970–1982, masa terjadinya Krisis Minyak Dunia. Ini adalah salah satu babak paling kelam dalam sejarah ekonomi global. Dua perang besar di Timur Tengah pada tahun 1973 dan 1979, ditambah kebijakan pemangkasan produksi secara kolektif oleh negara-negara Arab, menyebabkan pasokan minyak dunia anjlok secara drastis.
Harga minyak internasional yang pada tahun 1973 masih sekitar 3 USD/barel, melonjak tajam hingga mencapai 40 USD/barel pada tahun 1980. Kenaikan ini melebihi 1200 %. Sebagai komoditas energi utama dunia, sekaligus bahan baku penting untuk industri plastik dan pupuk kimia, lonjakan harga minyak ini ibaratnya api yang membakar seluruh rantai harga barang konsumsi. Efek dominonya memicu gelombang inflasi besar-besaran di berbagai negara.
Di AS, Krisis Minyak ini langsung memicu mimpi buruk inflasi yang berlangsung selama 1 dekade penuh. Dari tahun 1973-1982, tingkat inflasi CPI AS melonjak dari 4% menjadi 13.5% pada tahun 1980, dengan rata-rata inflasi tahunan mencapai 9%. Sebagai ilustrasi, harga satu kaleng minuman soda pada tahun 1973 hanya sebesar 0.15 USD, namun pada tahun 1979 sudah naik menjadi 0,65 USD.
Artinya, harga barang hampir 2 kali lipat setiap 3 tahun. Di negara kita pada periode yang sama, laju inflasi juga meningkat tajam hingga 10%. Harga ekspor minyak sawit melonjak 15%, tapi pendapatan masyarakat hanya naik sekitar 4%. Biaya hidup meroket, harga barang melambung dan kualitas hidup masyarakat pun terpukul keras.
Upah yang diterima jauh tertinggal dari laju inflasi, sehingga keluhan dari masyarakat terus meningkat. Misalnya saja, pada tahun 1979 di AS, tercatat lebih dari 50 aksi unjuk rasa besar-besaran oleh warga yang memprotes tekanan inflasi. Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah AS jatuh ke level terendah.
Di negara kita, kenaikan biaya hidup mencapai 12%, sementara permintaan konsumsi rumah tangga menyusut hingga 8%. Maka dari itu, menghadapi lonjakan inflasi yang begitu cepat di era ini, The Fed pun menetapkan bahwa memerangi inflasi harus menjadi prioritas utama.
Pada bulan Agustus 1979, Paul A. Volcker resmi menjabat sebagai Ketua The Fed. Hanya sebulan setelahnya, pada September 1979, inflasi tahunan di AS melesat lebih dari 10%, mencetak rekor tertinggi dalam 1 dekade terakhir. Menghadapi lonjakan harga yang ekstrem dan tekanan biaya hidup masyarakat yang semakin berat, Paul Volcker bersumpah akan menumpas inflasi sampai tuntas.
Hanya 2 bulan setelah menjabat, tepatnya pada Oktober 1979,
Volcker langsung memulai siklus kenaikan suku bunga pertama. Suku bunga federal
fund rate naik tajam dari 11% pada Oktober 1979 menjadi hampir 17% pada April
1980. Dalam waktu hanya setengah tahun, kenaikan tersebut mencapai lebih dari
54%.
Kalau kita perhatikan grafiknya, garis biru yang mewakili suku bunga terlihat melesat seperti roket pada tahun 1980. Namun, garis hijau yg menunjukkan indeks harga barang-barang justru tidak mengalami penurunan seperti yang diharapkan. Sebaliknya, inflasi tetap bertahan di tren naik. Sementara itu, garis merah yang mencerminkan tingkat pengangguran juga ikut melonjak tajam, seperti kuda liar yang lepas kendali, mencapai 7,5% pada kuartal kedua tahun 1980.
Kebijakan kenaikan suku bunga merupakan langkah pengetatan moneter, yang bertujuan untuk menarik likuiditas dari peredaran dan menekan pertumbuhan profit ekonomi secara keseluruhan. Langkah agresif Paul A. Volcker melalui kenaikan suku bunga yang drastis langsung memecahkan gelembung ekonomi saat itu.
Banyak perusahaan gulung tikar karna tidak mampu menanggung beban biaya pinjaman yang mencapai lebih dari 18%, dan ini membuat situasi kehidupan masyarakat AS makin sulit. Di tengah tekanan inflasi, harga barang-barang tetap tinggi, sementara kenaikan gaji tak mampu mengimbangi pengeluaran. Setelah kenaikan suku bunga, pengangguran pun melonjak tajam banyak orang kehilangan pekerjaan secara langsung.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS tercatat anjlok hingga 8% secara tahunan, menunjukkan bahwa ekonomi telah masuk ke jurang resesi yang dalam. The Fed pun akhirnya sadar bahwa ekonomi sudah terlalu rusak dan segera berbalik arah dengan memangkas suku bunga.
Pada kuartal ketiga tahun 1980, suku bunga federal fund rate
diturunkan secara tajam dari 17,6% menjadi 9%. Dalam hitungan beberapa bulan saja,
terjadi pemangkasan lebih dari 48%. Penurunan suku bunga ini langsung
meringankan tekanan pembiayaan bagi sektor usaha dan berhasil menahan laju
kenaikan tingkat pengangguran di AS.
Tahun 1980 merupakan momen krusial dalam pemilihan presiden AS. Pada saat itu, ekonomi AS tengah diselimuti oleh awan gelap resesi yang parah. Gelombang inflasi yang tak terkendali, ditambah kebijakan suku bunga tinggi dari Paul A. Volcker, memicu tekanan ekonomi yang luar biasa berat, membuat masyarakat mengeluh di mana-mana
Biaya hidup melonjak drastis, tingkat pengangguran meningkat tajam dan amarah publik akhirnya berdampak langsung pada konstelasi politik. Presiden petahana saat itu, Jimmy Carter, gagal total dalam kampanye pemilihan ulang dan akhirnya dikalahkan oleh Ronald Reagan.
Dukungan terhadap Jimmy Carter bahkan sempat anjlok hingga hanya 28%, mencetak rekor terendah bagi seorang presiden AS pada masa itu. Dari sini kita bisa melihat bahwa tarik-ulur kekuasaan antara Presiden AS dan Ketua The Fed bukanlah hal yang baru. Persaingan kepentingan ini sudah berlangsung sejak dulu dan terus berlanjut hingga hari ini.
Kini, meskipun kita sudah memasuki tahun 2025, mantan Presiden Donald Trump masih terus melontarkan pernyataan di ruang publik, menyatakan bahwa presiden seharusnya memiliki kendali atas suku bunga dan kebijakan moneter. Bahkan, sudah beberapa kali beredar kabar mengejutkan bahwa ia ingin memecat Jerome Powell dari jabatan Ketua The Fed.
Kita bisa bayangkan betapa besar tekanan politik yang dihadapi Paul A. Volcker saat menjabat sebagai Ketua The Fed di tengah lonjakan inflasi yang ekstrem dan pergantian kepemimpinan presiden AS. Namun, sosok yang kemudian dijuluki sebagai “penakluk inflasi” ini tetap teguh pada komitmen awalnya ketika pertama kali menjabat, yaitu menjinakkan inflasi, meskipun harus membayar harga yang sangat mahal.
Paul Volcker sadar betul bahwa satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas daya beli USD adalah dengan mengendalikan inflasi secara ketat. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa dipulihkan dan jalur pemulihan ekonomi bisa dibuka kembali.
Karna itu, pada tahun 1980, setelah kebijakan penurunan suku bunga sempat meredakan tekanan resesi dan memberi sedikit ruang napas bagi ekonomi AS, Volcker langsung bertindak tegas ketika melihat tanda-tanda pemulihan. Ia tidak ragu untuk kembali menghadapi inflasi yang masih tinggi secara langsung dan memulai siklus “kenaikan suku bunga brutal” tahap kedua yang lebih agresif dari sebelumnya.
Suku bunga federal fund rate kembali dinaikkan secara
agresif, dari 9% menjadi 20%, mencetak rekor tertinggi dalam sejarah. Kenaikan
ini mencapai lebih dari 120%, dan suku bunga super tinggi tersebut bahkan
dipertahankan selama beberapa tahun.
Gelombang kenaikan suku bunga ini bagaikan pukulan telak ke jantung inflasi dan akhirnya berhasil meredam laju kenaikan harga yang tak terkendali. Kalau kita perhatikan grafiknya, garis hijau yang mewakili indeks harga barang mulai berbelok turun menandakan bahwa kobaran inflasi perlahan mulai padam.
Pada tahun 1982, tingkat inflasi berhasil ditekan hingga 6%, dan terus menurun secara bertahap hingga mencapai 2,5% pada tahun 1983. Ini adalah titik balik penting yang menunjukkan keberhasilan strategi keras Paul A. Volcker dalam memulihkan kestabilan ekonomi AS.
Di sini kita juga bisa merenungkan sejenak bayangkan saja, suku bunga suatu negara mencapai 20% dan bertahan selama setengah tahun penuh. Ini benar-benar sebuah kondisi yg mencengangkan, hampir tidak terbayangkan dalam kerangka ekonomi saat ini.
Di bawah kepemimpinan tangan besi Paul A. Volcker, meskipun pendekatan ekstrem ini berhasil menaklukkan inflasi, namun di saat yang sama, ia juga memicu runtuhnya stabilitas ekonomi secara lebih luas. Memang, harga-harga akhirnya bisa ditekan, tapi harga yang harus dibayar adalah keterpurukan ekonomi yang jauh lebih dalam.
Kali ini, kehancuran pasar terjadi dengan dampak yang jauh lebih menyakitkan. Tingkat pengangguran melonjak drastis hingga mencapai 12%, mencerminkan besarnya tekanan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.
Di pasar saham, tahun 1981 menjadi tahun penuh kegelapan indeks saham terus mengalami penurunan, dengan total koreksi mencapai 25%. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun inflasi bisa dikendalikan lewat kebijakan ekstrem, tetapi stabilitas ekonomi jangka pendek harus dikorbankan secara besar-besaran.
Kalau kita perhatikan lagi ketika pasar saham AS mulai mengalami penurunan, ternyata kita juga akan menemukan bahwa pada Juli 1981, The Fed mulai menurunkan suku bunga. Artinya, penurunan suku bunga oleh The Fed saat itu justru berlangsung bersamaan denagn jatuhnya pasar saham. Di sini, saya ingin mengajak kalian untuk kembali mengingat: kapan AS mulai menurunkan suku bunga di tahun 2024? Dan gimana kondisi pasar saham pada saat itu? Apakah kalian melihat pola yang mirip?
Faktanya, siklus penurunan suku bunga pada masa itu berlangsung cukup panjang sekitar 15 bulan, dari pertengahan 1981 hingga November 1982. Dalam periode itu, tingkat pengangguran di AS akhirnya mulai stabil dan tidak lagi meningkat, sementara laju inflasi berhasil dikendalikan pada level yg lebih rasional.
Dengan fondasi ekonomi yang mulai membaik, AS pun perlahan keluar dari jurang resesi. Dan sejak tahun 1983, pasar saham AS memasuki fase kemakmuran jangka panjang yang luar biasa dalam hampir 2 dekade berikutnya, indeks saham AS mengalami kenaikan kumulatif lebih dari 1000%. Ini adalah bukti konkret bahwa setelah badai inflasi berhasil diatasi dan ekonomi kembali stabil, pasar keuangan punya potensi untuk tumbuh secara sangat agresif dalam jangka panjang.
Serangkaian kebijakan yang diambil Paul A. Volcker memang
memicu perdebatan sengit di masa-masa setelahnya. Ada yang memuji beliau
sebagai “pahlawan penakluk inflasi,” karena keberaniannya melawan tekanan
politik dan usahanya yang berhasil menarik AS keluar dari kubangan inflasi,
sekaligus meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi selama periode 1983-2000.
Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang mengkritik pendekatannya yang dianggap terlalu agresif. Mereka berpendapat bahwa Volcker gagal memahami teori moneter modern secara menyeluruh, sehingga langkah-langkah ekstremnya justru menyebabkan gelombang kebangkrutan perusahaan, melonjaknya pengangguran dan runtuhnya perekonomian dalam jangka pendek.
Menurut saya kebijakan suku bunga baik kenaikan maupun penurunan, hanyalah alat kendali jangka pendek. Dalam jangka panjang, arah pergerakan harga dan pertumbuhan ekonomi akan tetap mengikuti dinamika resonansi dari siklus ekonomi itu sendiri.
Penurunan inflasi pada tahun 1982 lebih banyak disebabkan oleh penyesuaian antara penawaran dan permintaan global, bukan semata-mata karna kebijakan moneter seperti kenaikan atau penurunan suku bunga. Sebagai contoh, harga minyak dunia yang sempat mencapai 40 USD/barel, turun drastis menjadi 26 USD. Pada saat yang sama, sektor jasa dan industri teknologi khususnya teknologi informasi mulai menunjukkan kebangkitan. Ini menjadi kekuatan utama yang mendorong pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Sebagai bukti, pada tahun 1983, penjualan PC dari IBM meningkat hingga 50%, dan hal ini memicu gelombang minat besar terhadap saham-saham teknologi. Di atas fondasi inilah perusahaan-perusahaan raksasa seperti Apple dan Microsoft mulai bangkit dan secara bertahap mengubah dunia. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pengaruh siklus ekonomi terhadap pasar jauh lebih besar, dibandingkan dampak dari satu variabel tunggal seperti kebijakan suku bunga.
Kita bisa melihat dengan sangat jelas bahwa dalam siklus penurunan suku bunga tahun 1981–1982, tingkat suku bunga turun tajam dari 20% menjadi 8,5%. Namun, bertentangan dengan asumsi umum bahwa pelonggaran likuiditas akan mendorong kenaikan harga, justru yang terjadi adalah sebaliknya, indeks harga terus mengalami penurunan. Indeks harga yang sebelumnya berada di level 12% turun secara bertahap seiring dengan penurunan suku bunga, hingga akhirnya menyentuh angka 4,8%. Lalu pertanyaannya, kenapa bisa muncul hasil yg bertolak belakang seperti ini?
Jawabannya adalah karna penurunan harga yg terjadi saat itu bukanlah hasil langsung dari kebijakan The Fed, melainkan akibat dari hantaman keras resesi ekonomi. Ketika krisis keuangan mulai mencuat, permintaan dari masyarakat mengalami kontraksi secara tiba-tiba, menciptakan kondisi kelebihan pasokan barang. Misalnya, pada tahun 1981, AS mencatatkan lonjakan akumulasi persediaan barang sebesar 12%, dan ini menyebabkan harga-harga jatuh bagaikan longsoran salju. Efek domino dari penurunan harga barang inilah yang kemudian menyeret turun indeks harga secara keseluruhan.
Sekarang kita udh tau bahwa akibat krisis minyak dari tahun 1970-1982, ekonomi AS sempat terperosok ke dalam jurang resesi yang dalam. Dan lewat penelaahan mendalam terhadap siklus penurunan suku bunga di periode itu, kita bisa memahami 2 hal penting sbg berikut:
1.Apa sebenarnya makna dari kebijakan penurunan suku bunga?
2.Kapan biasanya sinyal awal dari penurunan suku bunga dan kemunculan krisis keuangan mulai terlihat?
Sekarang mari kita langsung bahas pertanyaan penting yg pertama: sebenarnya apa arti dari siklus penurunan suku bunga? Jawabannya mungkin akan cukup mengejutkan buat banyak orang, karna siklus penurunan suku bunga seringkali justru jadi sinyal darurat bagi kemunculan resesi, atau setidaknya jadi pertanda bahwa risiko resesi sedang mendekat. Kesimpulan ini sebenarnya simpel, tapi maknanya cukup mendalam.
Coba kalian pikirkan baik-baik, kalo kondisi ekonomi lagi
tumbuh pesat dan sehat, ibaratnya matahari bersinar terik di siang hari,
ngapain harus disuntik dengan ‘obat kuat’ berupa penurunan suku bunga untuk distimulasi?
Lewat pembuktian yang jelas dari grafik, kita bisa lihat
bahwa dalam sejarah, hampir setiap siklus penurunan suku bunga oleh The Fed
selalu bertepatan dengan periode bayangan resesi ekonomi. Hal ini terjadi karna
penurunan suku bunga biasanya merupakan langkah darurat The Fed untuk
menghadapi ancaman resesi. Inilah alasannya kenapa di tahun 2024, saat The Fed
mulai menurunkan suku bunga, pasar saham justru mengalami penurunan yang
terus-menerus.
Selama kita paham hubungan historis antara pasar saham dan kebijakan penurunan suku bunga The Fed, kita pasti bisa paham bahwa pasar akan mulai bergerak mengikuti logika resesi ekonomi. Dan ini juga menjadi alasan utamanya kenapa meskipun saham turun, harga emas dan Bitcoin malah terus naik tajam.
Nah sekarang kita masuk ke pertanyaan penting yang kedua, yaitu: kapan sebenarnya sinyal penurunan suku bunga dan kemunculan krisis keuangan mulai muncul? Jawabannya bisa kita temukan lewat satu indikator yg sangat krusial, yaitu tingkat pengangguran.
The Fed menaikkan suku bunga uuntuk mengendalikan harga, sementara menurunkannya untukk mendorong penciptaan lapangan kerja. Dan sekarang, lewat grafik yang jelas, kita bisa lihat bahwa 2 kali penurunan suku bunga oleh The Fed itu sebenarnya tidak terjadi saat ekonomi sudah benar-benar masuk fase terburuk, tapi justru dimulai di saat garis merah yang mewakili tingkat pengangguran mulai berbalik arah ke atas. Titik inilah yang jadi sinyal awal dari datangnya krisis.
Kita bisa ambil contoh dari peristiwa COVID-19 untuk menganalisis dan membuktikan pola ini secara sempurna. Di awal tahun 2020, tingkat pengangguran di AS melonjak tajam hingga 15% akibat guncangan pandemi, angka ini jadi yang tertinggi sejak era Depresi Besar. Pada saat yang sama, permintaan masyarakat melemah drastis, menyebabkan tekanan penurunan harga.
Menanggapi situasi ini, The Fed bergerak cepat. Dari bulan Maret hingga Juni 2020, The Fed melakukan penurunan suku bunga secara agresif dalam beberapa tahap, sekaligus menyuntikkan likuiditas besar ke pasar guna menstabilkan sistem keuangan.
Setelah siklus penurunan suku bunga, AS berhasil keluar dari resesi singkat dan secara bertahap mengalami pemulihan ekonomi. Dalam periode suku bunga rendah antara tahun 2020-2022, tingkat pengangguran AS berhasil ditekan dari 15% menjadi hanya 3,5% di tahun 2022. Namun, di saat yang sama, harga-harga mulai melonjak akibat lonjakan penerbitan USD secara besar-besaran dalam waktu singkat.
Hal ini mendorong The Fed utk kembali menaikkan suku bunga di
tahun 2022 guna menekan inflasi. Siklus ini sekali lagi membuktikan bahwa The
Fed selalu menggunakan dua indikator utama sebagai “jangkar” kebijakan mereka,
yaitu tingkat pengangguran dan harga barang. Jadi, selama saya melihat bahwa
tingkat pengangguran di AS mulai naik, itu sudah cukup jadi sinyal utama bahwa
resesi dan penurunan suku bunga pasti akan segera mengikutinya.
Ok cukup sekian, terima kasih!
Post a Comment for "Apa Arti Kebijakan Penurunan Suku Bunga di Amerika Serikat?"
Berikan komentar Anda dan bagikan ke teman" Anda!